Coffin Dance, Upaya Memaknai Kematian

khusnul Khuluq aktivis imm dan intelektual muda muhammadiyah

Modernis.co, Jambi – Sempat viral. Di jagad sosial media. Beberapa waktu lalu. Sebuah tarian. Dari salah satu negara Afrika. Ghana. Coffin Dance. Tarian peti. Kita lebih mengenalnya dengan peti goyang. Di negara asalnya disebut Ghana Dancing Pallbearers.

Sebuah tarian yang diperagakan oleh empat sampai tujuh orang. Berpakaian necis. Berkaca mata hitam. Sambil menjinjing peti mati. Menuju sebuah pemakaman.

Masih diperdebatkan. Apakah itu tradisi Ghana yang sudah lampau. Atau itu inovasi perusahaan jasa layanan pemakaman. Namun, yang jelas, tontonan itu begitu menarik perhatian. Utamanya bagi yang belum akrab dengan tradisi itu.

Tontonan semacam itu memang disuguhkan oleh perusahan jasa layanan pemakaman. Mulai dari tema, jumlah personilnya, pakainnya, jenis musik yang mengiringinya, sampai jenis petinya, sesuai permintaan pemesan. Tentunya menyesuaikan dengan kocek pemesan.

Rupa-rupanya, ada maksud tertentu. Di balik tarian semacam itu. Misalnya, untuk megantarkan mendiang. Agar gembira menghadap tuhannya. Atau untuk mencipatakan suasana gembira. Dalam prosesi upacara pemakaman. Yang pada umumnya selalu identik dengan kesedihan.

Sebuah ide yang cukup unik. Untuk mengubah kesan kematian yang identik dengan kesedihan. Menjadi kegembiraan. Ide yang cukup baik, untuk mengubah kematian yang terkesan mistis menjadi kegembiraan.

Sejarah Kematian dan Pemaknaan Atasnya

Terus terang. Saya agak gugup. Menulis tema semacam ini. Sedikit kawatir. Kalau-kalau hal semacam ini datang tiba-tiba. Pada orang-orang dekat. Tapi, kita mesti siap dan siaga. Kapanpun itu datang. Terhadap siapapun. Termasuk jika itu menimpa diri kita.

Saya ingin mengenalkan seorang penulis benama Michael Kerrigan. Dia menulis sebuah buku bertajuk The History of Death: Burial Custom and Funeral Rites, from the Ancien World to Modern Times. Buku ini dirilis tahun 2017 lalu.

Sebagaimana yang terlihat dari judulnya. Buku ini hendak menyuguhkan hasil eksaminasi terhadap berbagai tradisi pemakaman. Dari banyak kebudayaan. Hingga masa modern ini.

Saya tidak ingin masuk ke persoalan teknis. Tentang berbagai ritual pemakaman yang disuguhkan buku itu. Namun, dengan membaca sekilas buku itu, kita bisa ambil secarik kesimpulan awal. Bahwa, kematian bersifat universal. Dan masing-masing budaya berusaha memberi makna. Dengan cara-cara yang berbeda.

Ya, kematian itu universal. Dalam artian bahwa, kematian berlaku untuk siapa saja. Dan di mana saja. Belum ada yang berhasil menghindari kematian. Adapun soal pemaknaan, kita bisa memberi makna apa saja. Terhadap kematian.

Kematian Sebagai Fondasi Doktrin Keagamaan

Ya. Kematian adalah fondasi yang sangat penting. Bagi segudang doktrin keagamaan. Di dalam Islam misalnya, banyak sekali doktrin keagamaan yang berbasiskan pada kematian.

Sebut saja mislanya, keyakinan atas malaikat pencabut nyawa. Juga keyakinan atas alam kubur, berikut malaikat penjaga kuburnya. Keyakinan atas surga dan neraka, dengan malaikat penjaganya. Keyakinan atas buku catatan amal, dengan malaikat pecatatnya. Juga sekian banyak ritual doa untuk para mendiang yang telah mati. Dan masih bayak doktrin keagamaan lainnya yang berbasikan pada kematian.

Termasuk juga soal pahala dan dosa. Keduanya baru akan kita lihat rupanya setelah kematian. Bahkan juga soal tuhan. Sebuah entitas yang baru bisa dibuktikan, ditemui, dan dilihat setelah kematian.

Artinya, kematian punya posisi yang sangat penting dalam sistem keagamaan. Manafikan kematian berarti penafian atas semua doktrin itu. Menafikan kematian artinya, penafian sebagian doktrin keagamaan.

Atau bahkan mungkin semuanya. Dengan asumsi bahwa, kematian adalah fondasi utama sebuah agama. Tuhan baru bisa ditemui setelah kematian. Artinya, baru bisa dibuktikan setelah kematian. Sementara agama berasal dari tuhan. Yang artinya, sebuah agama selurunya berbasis pada kematian. Artinya, bisa kita simpulkan dengan rumus sederhana. No death, no religion.

Kontestasi Sains dan Agama Tentang Kematian

Memang, kematian adalah misteri. Namun, tidak ada yang tidak bisa diselidiki dengan sains. Akhir-akhir ini, sains, berusaha menguak misteri tentang kematian. Sains, meneliti sistem kematian ini. Dan sampailah pada sebuah kesimpulan. Bahwa kematian hanyalah soal teknis.

Misalnya, manusa disebut mati, jika batang otak berhenti bekerja. Manusia mati, jika jantung berhenti memompa aliran darah. Manusia mati, jika organ-organ penting digerogoti bakteri, atau virus yang menyebabkan organ tersebut terganggu. Dan organ tersebut berhenti melakukan fungsinya. Yang menyebabkan batang otak berhenti.

Sebagaimana manusia disebut buta, jika matanya berhenti melakukan fungsinya. Artinya, bagi sains, kematian adalah soal-soal teknis. Dan, yang sedang dikerjakan oleh sains adalah mencari solusi. Atas persoalan-persoalan teknis tersebut.

Singkat kata, sains hendak menyuguhkan suatu perspektif. Bahwa kematian adalah persolan teknis. Karena itu, sangat mungkin kematian untuk dihindari. Dengan solusi-solusi yang bersifat teknis pula.

Dari situ. Tampak sekali konfrontasi antara agama dan sains. Agama jelas akan mempertahankan kematian. Karena fondasi utama agama adalah kematian. Sementara sains, sedang dalam upaya menghapus kematian.

Kemungkinan Menghindari Kematian

Sekali lagi, kita akan ajukan pertanyaan. Seberapa dekat kemungkinan menghindari kematian? Di atas, kita sudah lihat. Bahwa ada persaingan dalam menyoal kematian. Persaingan antara agama dan sains.

Tabiat sains adalah bahwa, sains berjalan konstan. Dan agama hanya bertahan. Agama hanya mempertahankan diri atas serangan sains. Selain itu, agama selalu bersfat eksklusif-akomodatif tentang temuan sains atas kematian. Begitu saya menyebutnya. Jika temuan sains mengukuhkan kematian, agama mengafirmasi. Jika sains justru mengerogoti kematian, agama menolak.

Memang, kita tidak bisa prediksi kapan waktunya. Tapi, kemungkinan manusia tidak bisa mati. Itu tetap ada. Karena diam-diam, agenda itu terus diprakarsai oleh sains.

Saat waktunya telah tiba. Ketika kematian menjadi hanya sebatas cerita. Maka, pada saat itu, agama juga menjadi sebatas cerita. Semua doktrin keagamaan yang berbasiskan pada kematian runtuh. Sehingga agama tidak lagi menjadi bahan pembicaraan. Alih-alih menjadi panutan.

Keruntuhan agama dalam konteks ini bukan berarti lenyap seluruhnya dalam seketika. Namun, doktrin-doktrin keagamaan itu sebagian akan usang. Dan sebagian akan didefinisikan ulang. Redefinisi.

Jika surga hari ini didefiniskan sebagai tempat yang indah, dimana semua kebutuhan serba tercukupi, semua keinginan bisa terpenuhi, yang akan kita masuki setelah kita mati. Jika kita membawa pahala tentunya. Maka, pengertian itu akan didefinisikan ulang. Dengan menghilangkan variabel kematian. Yang artinya, tempat semacam itu bisa dihadirkan tanpa melewati kematian. Itu salah satu kemungkinan redefinisi atas konsep keagamana.

Jika pembaca masih bertahan satu setengah, atau dua milenium kedepan. Mungkin akan menyaksikan suasana seperti ini. Di mana diskusi tentang keagamaan tidak lagi menarik. Karena pada saat itu, mendiskusikan agama artinya mendiskusikan lagenda. Sebuah lagenda yang sangat jauh dari kehidupan manusia.

Dan, jika manusia pada waku itu membaca sejarah kita hari ini, mereka akan sangat keheranan. Melihat tingkah laku kita saat ini terhadap agama. Terlebih lagi melihat berbagai keributan, atas nama lagenda. Suatu sikap yang sangat primitif.

Kembali Pada Coffin Dance

Baik, kita kembali pada coffin dance. Berdasarkan diskusi kita di atas. Coffin dance adalah salah satu upaya pemaknaan atas kematian. Sebuah upaya bagaimana kita memaknai kematian sebagai sebuah kegembiraan. Bukan sebaliknya.

Itu sah-sah saja. Karena hari-hari ini, kemanusiaan masih menjadikan kematian sebagai bagiannya yang penting. Dimana, ide tentang kematian tersebut menopang segudang doktrin untuk diyakini. Dan sialnya, sebagian kita, hari-hari ini, hidup dengan doktrin-doktrin itu.

Akhirnya, kita perlu pahami. Bahwa doktrin-doktrin keagamaan itu bertumpu pada satu bata kecil. Yang idenya kita sebut dengan kematian. Artinya, ketika bata itu runtuh, kemanusiaan mesti merelakan semua doktrin-doktrin yang bertumpu di atasnya. []

Oleh : M. Khusnul Khuluq (Human Right Defender, Pegiat Filsafat, Kader Muda Muhammadiyah)

M. Khusnul Khuluq
M. Khusnul Khuluq

Muhammad Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H. Alumnus Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2015. Peraih The Asia Foundation Scholarship of Master Program on Syaria and Human Right Studies.

Leave a Comment